Rayuan Gombal Saja Tak Cukup

Janji-janji adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Tak terkecuali dalam kehidupan percintaan. Sayangnya, orang seringkali gagal untuk memenuhi janji yang mereka ucapkan kepada pasangan mereka. Anda dapat menyenangkan pasangan saat Anda mengatakan apa yang ingin Anda lakukan, tetapi Anda juga dapat membuat pasangan kecewa di kemudian hari.

Hal tersebut menjadi perhatian Peneliti dari Wilfrid Laurier University, Johanna Peetz dan Lara Kammrath, yang meneliti mengapa orang membuat janji dan mengapa mereka melanggar janji dalam hubungan romantis. Mereka kemudian melakukan serangkaian studi.

Pada studi pertama,mereka meneliti apakah orang cenderung untuk terlalu optimis ketika membuat janji kepada pasangan, dan bagaimana perasaan positif berhubungan dengan janji-janji serta tindakan untuk memenuhinya. Dalam studi ini, peserta berjanji untuk melakukan tiga perilaku untuk pasangan mereka yang akan memperbaiki konflik dalam hubungan mereka sekarang. Peserta juga diminta untuk mengisi kuesioner tentang perasaan mereka terhadap hubungan romantis yang dijalani, mencakup kepuasan terhadap hubungan romantis, komitmen, dan keintiman. Setelah dua minggu, peserta kemudian melaporkan apakah janji mereka betul-betul dilaksanakan. Hasilnya menunjukkan adanya bias optimistik dalam berjanji. Peserta cenderung untuk berjanji lebih daripada yang dapat sungguh-sungguh mereka lakukan. Lebih jauh lagi, peserta yang memiliki perasaan positif terhadap hubungan mereka, membuat lebih banyak janji, tetapi tidak cenderung untuk melaksanakannya.

Studi kedua melibatkan variabel motivasi responsivitas terhadap kebutuhan-kebutuhan pasangan, yang diukur dengan pertanyaan: "Seberapa peduli Anda terhadap kebahagiaan pasangan?", "Berapa banyak usaha yang rela Anda lakukan demi kebutuhan pasangan?", dan "Seberapa banyak Anda menempatkan kebutuhan pasangan sebagai prioritas?". Hasilnya menunjukkan bahwa Perasaan positif atau lebih tepatnya motivasi responsivitas mengarahkan peserta untuk membuat lebih banyak janji kepada pasangan, tetapi tidak secara signifikan mempengaruhi perilaku untuk memenuhi janji tersebut.

Singkatnya, dalam studi pertama dan kedua terlihat bahwa keinginan untuk responsif terhadap kebutuhan pasangan seringkali tidak cukup untuk benar-benar mengubah perilaku, bahkan pada orang dengan niat yang paling baik.

Studi ketiga kemudian melibatkan variabel keterampilan regulasi diri yaitu sifat teliti. Hasilnya, orang yang lebih baik dalam regulasi diri yaitu peserta yang yang sangat teliti, melakukan janji mereka lebih sering dibandingkan peserta yang memiliki keterampilan regulasi diri yang buruk.

Pada studi keempat, peneliti membuat manipulasi. Sebelum membuat janji, peserta diminta untuk menuliskan karakteristik dan atribut yang mereka hargai dan cintai dari pasangan, pemikiran untuk meningkatkan perasaan positif dalam hubungan dan motivasi responsivitas, sementara sebagian peserta lain diminta menuliskan rencana implementasi konkrit untuk memenuhi perilaku yang dijanjikan, pemikiran untuk membuat regulasi diri menjadi lebih mudah. Hasilnya menunjukkan bahwa rasa peduli dan penghargaan terhadap pasangan yang secara eksperimental ditingkatkan, mendorong peserta untuk lebih banyak berjanji melakukan perilaku yang dapat memperbaiki hubungan, tetapi tidak benar-benar lebih sering melakukan perilaku tersebut, sehingga terjadi gap atau kesenjangan antara janji dan tindakan. Di pihak lain, peserta yang telah menyusun rencana implementasi atau pelaksanaan, lebih sering melakukan tindakan, sehingga terdapat gap atau kesenjangan yang kecil (tidak signifikan) antara janji dan tindakan. Dengan demikian, orang dalam kondisi perasaan positif cenderung berjanji lebih banyak, tetapi orang dalam kondisi regulasi diri, melakukan lebih banyak tindakan untuk pasangan mereka.

Dari sini, kita dapat melihat bahwa perasaan untuk pasangan dapat mengarahkan kita pada janji-janji yang lebih ambisius, tetapi tidak pada tindakan untuk menepatinya. Hal tersebut bertentangan dengan pendapat populer bahwa cinta sejati akan membuat orang melakukan apa saja. Justru orang-orang yang sangat peduli terhadap kesejahteraan pasangan dapat melanggar janji lebih sering, ironis memang. Mungkin ide yang baik apabila orang yang punya motivasi tinggi tersebut,berusaha untuk memantau antusiasme mereka ketika berjanji. Cobalah untuk lebih realistis dalam berjanji, agar tidak berakhir sebagai tukang gombal.....

Referensi:

Peetz, J., & Kammrath, L. (2011). Only because I love you: why people make and why they break promises in romantic relationship. Journal of Personality and Social Psychology, 100 (5), 887-904.doi:10.1037/a0021857

Gambar diambil dari: Rencha

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Awas Bising!

Eksperimen-Eksperimen Klasik yang Menarik Perhatianku

Culture Shock: Shock Karena Bertemu Budaya yang Berbeda