Cara Baru Dalam Diagnosis Autisme

Sudah lama sekali penulis tidak menyumbangkan artikel di blog ini. Hari ini bertepatan dengan World Autism Awareness Day, penulis merasa perlu untuk menerbitkan sebuah artikel tentang autisme. Seperti biasa, kali ini pun penulis mengupas sebuah penelitian tentang autisme yang berbasis biologis.

Selama ini autisme didiagnosis dengan menggunakan pendekatan behavioral atau perilaku. Para pakar klinis mengukur spektrum autisme dengan melihat munculnya perilaku autistik dengan tingkat keparahannya. Hal tersebut seperti yang diukur melalui Autism Spectrum Quotient (AQ). AQ dikembangkan oleh Peneliti Inggris Dr Simon Baron-Cohen, dan terdiri atas 50 pernyataan yang berhubungan dengan perilaku tipikal autisme, seperti kesulitan berinteraksi sosial, berkomunikasi, keterampilan motor, pemrosesan sensoris dan kecenderungan melakukan suatu perilaku berulang-ulang.

Terdapat sebuah cara untuk mendiagnosis autisme selain dengan pendekatan behavioral, yaitu  secara biologis dengan melihat perbedaan dalam cara otak memproses informasi visual. Penemuan tanda biologis dalam diagnosis autisme ditemukan oleh Alexandra Sutherland dan Prof David Crewther dari Swinburne University of Technology. Studi Swinburne menemukan bahwa orang dengan kecenderungan autistik yang tinggi memproses informasi visual secara berbeda, yang didasarkan pada neuron-neuron yang lebih sensitif terhadap warna dan tekstur spasial tetapi kurang sensitif terhadap gerakan dan kedipan cepat. Perbedaan tersebut dapat dideteksi hanya dengan merekam aktivitas elektrik otak pada bagian visual cortex. Pengukuran dapat dilakukan pada bayi sepanjang mereka terpaku secara visual (menatap) sesuatu, dan Crewther mengatakan bahwa anak-anak autis cenderung melakukan hal tersebut dengan baik.

Crewther percaya bahwa keseluruhan spektrum autis muncul dari perubahan fungsi yang terkait dengan otak, yang dapat dipelajari menggunakan teknik cognitive neuroscience. Hal ini melibatkan observasi aktivitas elektrikal otak dan mengukur performansi saat subjek melakukan aktivitas pada layar komputer. Dengan begitu, peneliti ingin melihat kemampuan pencarian visual yang melibatkan kemampuan membedakan bentuk yang terletak dalam gambar yang lebih rumit, dan orang dengan autisme melakukannya lebih baik dari orang normal. Namun demikian, kemampuan mendeteksi gerakan dapat terganggu, dan otak dapat berespon secara abnormal terhadap wajah, khususnya ketika mata dan mulut bergerak.

Informasi visual dari retina diproses di visual cortex, yang terletak di belakang kepala, di mana Crewther dan Sutherland menempatkan elektroda pada sukarelawan mereka. Tujuannya adalah untuk menyelidiki secara mendalam tentang saraf-saraf yang berespon terhadap elemen berbeda dalam lapangan visual, seperti warna, gerakan, atau tekstur spasial. Selanjutnya para peneliti juga dapat menghubungkannya dengan perbedaan dalam neuron yang sama yang berimplikasi pada diseleksia, yaitu neuron magnocellular. Crewther mengatakan bahwa neuron magnocellular lebih senstif terhadap gerakan dan kedipan cepat dan stimuli yang rendah kontrasnya, tetapi kurang sensitif dengan warna dan tekstur spasial halus dibandingkan dengan neuron parvocellular visual.

Crewther dan rekan-rekan kemudian merancang sebuah tes untuk mengukur perbedaan waktu yang dibutuhkan oleh sistem visual untuk pulih dari serangkaian stimuli dan kemudian bereaksi lagi dengan baik. Sukarelawan direkrut secara online dan dites menggunakan kuesioner AQ. Mereka dengan skor AQ yang rendah (11 atau kurang) dan tinggi (20 sampai 34) diundang untuk ikut dalam studi. Semua partisipan berasal dari populasi normal dan memiliki kecerdasan non verbal yang ekuivalen.

Sukarelawan kemudian diminta untuk melakukan dua tugas. Pertama, tes gerakan di mana terdapat titik-titik yang mengambang melintasi layar komputer. Untuk membingungkan sistem visual, titik-titik yang mengambang secara acak dibiarkan longgar sehingga tidak mungkin menentukan ke arah mana bergeraknya. Tugas kedua menggunakan gambar Navon untuk menguji pengenalan bantuk. Gambar ini seperti huruf "H" yang dibentuk dari pengulangan huruf-huruf kecil. Sukarelawan kemudian diuji kemampuannya dalam mengenali secara cepat entah bentuk "global" atau bentuk "lokal" yang lebih kecil. sementara bentuk global umumnya dilihat lebih cepat, orang dengan autistik berjuang untuk mengenali ini ketika huruf-huruf dikamuflasekan dalam satu dari dua warna, memecah bentuk global.


Pada subjek dengan AQ yang tinggi, peneliti mengobservasi adanya keterlambatan dalam proses magnocellular. Gangguan ini hanya terjadi setelah tibanya sinyal dari neuron parvocellular ke korteks. Keterlambatan ini dapat menjelaskan kekurangan autistik dalam melihat bentuk global dibandingkan bentuk fragmen. Bentuk global adalah syarat mutlah untuk mengenali wajah, dan membuat kontak mata.

Swinburne dan rekan kini mengaplikasikan temuan mereka pada bayi untuk mengembangkan tes diagnostik, sebuah proses yang awalnya membutuhkan data-data pendukung tentang bagaimana respon visual berubah seiring perkembangan anak. Salah satu mimpinya adalah melihat bahwa definisi autisme dan diseleksia yang sekarang didefinisikan denn berubah dengan mempelajari otak yang sedang bekerja.

Sumber:
Braidotti, G.. (2011, April). New insights into the Autistic Brain. Australasian Science, 32(3), 20-22.  Retrieved April 2, 2011, from ProQuest Education Journals. (Document ID: 2302109271).

Gambar diambil dari: amazon.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Awas Bising!

Eksperimen-Eksperimen Klasik yang Menarik Perhatianku

Culture Shock: Shock Karena Bertemu Budaya yang Berbeda