Sisi Psikologis Sebuah Cerita

Beberapa minggu lalu, saya menonton sebuah film produksi Disney: Bedtime Stories. Film tersebut bercerita tentang seorang teknisi hotel yang kurang beruntung - Skeeter Bronson (Adam Sandler) yang hidupnya berubah ketika cerita-cerita sebelum tidur yang ia sampaikan kepada keponakannya menjadi kenyataan dengan cara yang misterius. Ketika Ia menceritakan cerita-cerita aneh kepada keponakan yang dititipkan padanya, tambahan cerita oleh keponakannya yang tak disangka-sangka pada bagian-bagian cerita, berubah menjadi kenyataan dalam hidup Steeker di "dunia nyata". Film tersebut mungkin tidak akan terjadi pada dunia kita, walau kita memang kadang bercerita tentang kehidupan kita sendiri atau menyukai cerita yang mirip dengan kehidupan kita. Sewaktu kita kecil, kita berharap cerita-cerita indah menjadi nyata (dengan berkhayal menjadi putri dalam dongeng atau ksatria pembela kebanaran), atau orang tua mengajarkan kita kebaikan dari cerita-cerita rakyat yang disampaikan.

Pada postingan ini, kita akan coba mendiskusikan tentang aspek psikologis dari aktivitas bercerita secara oral atau langsung. Kita percaya bahwa cerita memiliki efek yang besar pada bagaimana orang berpikir dan merasa dan efek ini mungkin lebih kuat ketika cerita dibawakan secara langsung oleh pembawa cerita yang berpengalaman. Cerita, novel, dan puisi memiliki kekuatan dalam menggerakkan orang secara emosional, menginspirasi mereka, menyenangkan mereka, mendorong mereka, dan kadang-kadang membuat marah. Proses membawakan cerita adalah interaksi manusia yang sangat kompleks, bentuk komunikasi yang kuat yang memiliki pengaruh emosional, motivasional dan sosial yang tinggi. Ketika sebuah cerita disampaikan, dibandingkan dengan membaca atau disaksikan dalam potret dramatis, cerita memasuki lapisan interpersonal dan interaktif, dan hal ini dapat menambah pengaruh emosional. Dalam sejarah manusia, membawakan cerita telah menjadi bentuk mayor dari hiburan, pendidikan, dan dalam mentransfer nilai - seringkali menampilkan kebijaksanaan tradisional tentang bagaimana bertahan atau sukses atau berperilaku secara benar.

Si Pembawa Cerita, Cerita, dan Sang Pendengar

Pembawa cerita tidak mempelajari sebuah cerita kata per kata seperti seorang aktor mempelajari naskah, tetapi menciptakan kembali cerita lebih segar setiap kali. Komposisi utama cerita mungkin tetap sama, tetapi setiap pembawaan cerita adalah kreasi unik yang merefleksikan mood pembawa cerita dan respon mereka terhadap lingkungan fisik dan penonton. Cerita ditampilkan tidak hanya secara verbal tetapi juga non verbal, jumlah kontak mata, banyaknya suara serta penggunaan gerak tubuh akan diatur dan diadaptasi dengan reaksi pendengar. Gaya penceritaan akan merefleksikan isi cerita dan gaya pribadi dari si pembawa cerita. Si pembawa cerita juga mungkin memberikan detail sensoris dan informasi mengenai bagaimana karakter berpikir dan merasa agar cerita terasa lebih jelas bagi pendengar. Cerita diingat oleh si pencerita melalui interaksi antara bahasa dan gambar, mereka mungkin menciptakan gambaran visual yang kuat yang diasosiasikan dengan cerita. Bercerita bukan saja tentang mendengarkan tetapi juga "melihat". Pencerita boleh dibilang menghuni cerita dan membawa pendengar untuk berjelajah. Peran pembawa cerita melibatkan sejumlah aspek di mana pencerita sebagian adalah guru, sebagian pendeta dan sebagian lagi penghibur. Setiap pencerita memiliki ketiga elemen ini dengan derajat yang berbeda-beda.

Cerita utamanya berasal dari tradisi oral, disalurkan dari mulut ke mulut (meskipun banyak yang telah menjadi teks). Verita tradisional mencakup mitos dan legenda, cerita sejarah, dan dongeng. Dongeng misalnya tentang cinderella atau putri salju sangat familiar sekarang, sebagian karena telah ditransfer ke media lain dan ditransmisikan ke pendengar yang luas dalam bentuk novel. Teka-teki dan peribahasa juga merupakan bagian dari tradisi oral yang masih digunakan sekarang. Sebuah cerita sendiri dapat bertahan melalui banyak generasi dan mendapatkan popularitas yang luas, dan seringkali lintas budaya, membuat kita berpikir bahwa ada sesuatu yang berisfat arsetip dan cerita ini mungkin menggemakan apa yang ada jauh di dalam jiwa manusia. Banyak penulis seperti Sigmund Freud, Bruno Bettelheim, Joseph Campbell, Ernest Bloch and Clarissa Pinkola Estes telah berspekulasi tentang bagaimana cerita merefleksikan aspek-aspek kejiwaan dan memfasilitasi pemecahan konflik internal atau menjadi sarana pemenuhan keinginan (hal ini berlaku jika kita menilik film Bedtime stories ^_^). Pesan yang terkandung dalam cerita kadangkala sangat implisit tetapi kadang juga nyata terlihat. Cerita dapat menjadi tempat penyimpanan kepercayaan, simbol dan praktek-praktek budaya. Tema tipikal dari cerita semacam itu adalah mengatasi rintangan dengan menerapkan kebajikan atau kebaikan. Salah satu teori bahkan menyatakan bahwa isi dari cerita anak populer dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi dalam budaya. Hal ini terjadi karena cerita dapat mempengaruhi motivasi berprestasi anak dan pada dekade-dekade mendatang dapat mempengaruhi produktivitas ekonomi suatu budaya.

Bagi sang pendengar, cerita dapat mempengaruhi lima area kecerdasan emosional: kesadaran, regulasi diri, motivasi, empati, dan kompetensi sosial (Salah satu merek susu instan di Indonesia pernah menyertakan buku cerita gratis dengan panduan bahwa cerita tersebut dapat mengembangkan dan melatih kecerdasan emosional pada anak). Keterlibatan dalam cerita, dalam banyak bentuk, dapat memberikan "latihan" emosional untuk pikiran (mind) yang membantu anak dan dewasa menyelaraskan perasaan mereka. Cerita mungkin menjadi bahasa alami tentang perasaan bagi anak. Cerita mendidik orang tentang emosi, memberikan "insight" untuk respon manusia dan menyediakan kosakata untuk emosi. Cerita juga menjadi potret tentang cara yang berbeda dalam menyelesaikan situasi emosional dan mengatasi perasaan diri dan orang lain.

Gosip - Cerita tentang Kondisi Manusia

Gosip juga merupakan cerita, cerita tentang kondisi manusia di sekitar kita.
Gosip selalu melibatkan manusia, bukan hanya pembuat gosip atau penerimanya tetapi juga subjeknya. Inilah yang membedakannya dengan rumor, yang bisa saja tentang peristiwa seperti spekulasi pasar saham. Gosip bisa menjadi aktivitas sosial yang memungkinkan komunikasi terjadi saat terlibat dalam aktivitas lain, dan dapat melebar ke jaringan sosial yang lebih luas. Melalui gosip, manusia dapat tetap menyerukan tentang apa yang sedang terjadi dalam jaringan sosial mereka, menikmati kesempatan untuk mempromosikan diri dan memanipulasi informasi dan reaksi orang lain untuk kepentingan mereka sendiri. Akan tetapi, gosip pun dapat menjadi sebuah bentuk pembelajaran budaya. Dalam sebuah penelitian di laboratorium yang melibatkan individu yang dicap sebagai penggosip dalam skenario gosip yang berbeda, penggosip yang mempergunakan cerita mereka untuk merugikan orang lain dan tujuan-tujuan egois lainnya, dianggap sangat negatif. Di sisi lain, gosip dengan tujuan mendorong atau memajukan aturan dalam kelompok dan menertibkan pelanggaran dipandang dalam posisi netral.

Selain gosip yang negatif terdapat juga gosip yang positif. Kita menikmati mendengar gosip yang positif karena mendengar tentang perilaku orang lain membantu kita memahami dan mungkin menyesuaikan atau meniru dalam tingkah laku kita sendiri. Hal tersebut juga mencakup bagaimana mencapai hasil yang baik dan menghindari kegagalan atau malu. Dengan kata lain, teori perbandingan sosial tampaknya menjadi fungsi utama gosip. Perbandingan dengan yang lebih tinggi (baik) memacu kita untuk mencapai lebih, walaupun kebanyakan dapat melahirkan rasa iri. Perbandingan dengan yang lebih rendah (buruk), membuat kita merasa lebih baik dibandingkan mereka yang kurang beruntung dengan cara "membuat jarak" antara kita dengan "orang lain". Pada tingkat kelompok, "membuat jarak" dapat diterjemahkan menjadi siapa "kita" dan siapa "mereka", dan karenanya meningkatkan identitas sosial kelompok (kelompok semakin solid dan punya identitas jelas yang memisahkan mereka dengan yang ada di luar kelompok).

Teori perbandingan sosial juga berguna ketika kita mengamati popularitas gosip selebriti. Goffman menggunakan analogi teater untuk mendeskripsikan strategi persentasi diri: kita berada di panggung, kita menampilkan sebuah kedok pada dunia, dan mencoba menjaga bagian diri kita di "belakang panggung". Selebriti yang didefinisikan "di atas panggung" dan memancing keingintahuan orang tentang bagaimana sisi "belakang panggung" mereka. Hal ini dapat menimbulkan ide untuk menjatuhkan mereka (berakar dari perbandingan dengan yang lebih tinggi), kadang juga dengan cara yang simpatik, seperti misalnya mengasihani artis yang tidak punya waktu untuk diri mereka sendiri. Gosip tentang ketidakberuntungan selebriti dapat membuat selebriti terlihat lebih manusiawi, rendah hati, sehingga mendapatkan dukungan simpatik.

Sebenarnya masih banyak hal yang dapat kita gali dari tradisi bertutur cerita dalam budaya manusia. Untuk lebih lengkapnya silakan merujuk pada referensi di bawah atau pada sumber-sumber lain. Cerita bukan sekedar cerita, seringkali ada makna di balik cerita. Bukan hanya pesan moral atau sejenisnya tetapi pengaruhnya bisa lebih luas dari itu.

Referensi:
Brennan, T. (2009, Januari). Gossip-tales of the human condition. The Psychologist. 24-26.
Killick,S., & Nude, N. (2009, Oktober). The teller, the tale and the told. The Psychologist. 850-853.

Gambar diambil dari: kodomut

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Awas Bising!

Eksperimen-Eksperimen Klasik yang Menarik Perhatianku

Culture Shock: Shock Karena Bertemu Budaya yang Berbeda