Mengapa Remaja Terlibat Tindak Kriminal?


Banyak alasan mengapa orang terlibat tindak kriminal. Di negara-negara berkembang, faktor ekonomi menjadi alasan terkuat. Bagi remaja, proses pencarian jati diri bisa menjadi faktor pendukung. Tahukah Anda bahwa ada alasan unik lain? Timothy Brezina dan Volkan Topali dari Georgia State University Criminal Justice dan ekonom Erdal Tekin berpendapat bahwa semakin tinggi kecenderungan remaja berpikir bahwa mereka akan mati muda, makin tinggi pula kecenderungan mereka untuk terlibat dalam aktivitas kriminal dan kekerasan. Mereka menjelaskan bahwa meskipun kriminal muda menyadari resiko cedera, kematian, atau hukuman, kemungkinan rentang hidup yang lebih pendek mendorong mereka untuk berfokus pada "di sini dan sekarang" (here and now). Oleh karena itu, mereka cenderung terlibat aksi kriminal jika berpikir mereka akan mati. Hal ini bertentangan dengan apa yang selama ini dipikirkan orang bahwa kebanyakan orang yang berpikir bahwa dia akan mati akan depresi dan tidak akan melakukan tindak kejahatan.

Wawancara dengan tersangka

Para peneliti mewawancarai lebih dari 30 tersangka muda di beberapa tetangga negara bagian Atlanta, khususnya berfokus pada Central West Atlanta di mana terdapat komunitas yang mengalami kejahatan jalanan serius, penjualan obat-obatan dan kekerasan remaja yang tinggi. Wawancara berlangsung sekitar 45 sampai 120 menit dan berfokus pada persepsi partisipan terhadap resiko, dengan mencakup resiko cedera, kematian dini, dan di masa akan datang dan bagaimana persepsi ini mempengaruhi sikap dan perilaku mereka terhadap tindakan pelanggaran.
Brezina mengatakan bahwa banyak yang telah ditembak atau ditikam dan menimbulkan luka yang tampak merupakan trauma fisik. Mereka juga mengalami apa yang kriminolog katakan sebagai pandangan "koersif" - di mata mereka, mereka berada dalam dunia "saling memakan" di mana penggunaan kekerasan diperbolehkan jika diperlukan untuk mengintimidasi orang lain dan mencegah diri menjadi korban. Pandangan ini dan rasa hampa masa depan dari para pelaku remaja telah dibentuk oleh memori-memori masa lalu dan diperkuat oleh orang lain di kehidupan mereka dan kesaksian terhadap kekerasan, tutur Topalli. Mereka hidup di negara bagian yang mirip dengan zona perang, tumbuh dengan mendengar tembakan senjata, melihat orang mati dan mendengar ambulan dan mobil polisi. Hampir setiap remaja yang diwawancarai telah melihat jenazah, dan entah karena ditembak senjata atau dibunuh dalam konteks lain. Mayoritas mereka tidak ingin mati muda, tetapi mengalami ilusi bahwa mereka akan mati dan hal ini diperkuat oleh budaya.

Kekerasan bukan solusi
Brezina mengatakan bahwa tampaknya perlakuan hukuman yang keras tidak akan merubah tersangka yang tidak punya rasa takut. Mereka berasumsi bahwa hidup ini singkat dan rela menerima resiko yang berhubungan dengan gaya hidup kriminal, bahkan kematian sekalipun. Sebuah pendekatan alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan mengkonfrontasi kekerasan pervasif dan penyakit sosial lainnya yang seringkali dihadapi anak dalam kehidupan mereka sehari-hari - kondisi yang menurunkan harapan dan menyuburkan kejahatan.

Para pembaca mungkin sudah saatnya pendekatan yang lebih "gentle" diterapkan kepada mereka yang melanggar hukum, karena mereka juga adalah korban keadaan.


Referensi:
Georgia State University (2010, January 13). Might not be a tomorrow: Youth anticipate early death. ScienceDaily. Retrieved January 15, 2010, from http://www.sciencedaily.com­ /releases/2010/01/100113104255.htm

Gambar diambil dari: http://www.cobbsheriff.org/Detention/_images/OldJail_run.jpg

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Awas Bising!

Eksperimen-Eksperimen Klasik yang Menarik Perhatianku

Culture Shock: Shock Karena Bertemu Budaya yang Berbeda