Lost of Love: Tips Menghadapi Kehilangan


Kehilangan merupakan bagian menyedihkan dalam perjalanan hidup seseorang. Kehilangan bisa dialami oleh siapa saja. Bencana alam, penyakit, atau kecelakaan lain dapat merenggut orang yang kita kasihi dari sisi kita.
Georgia Witkins dari The Stress Program, membagikan "resep" kepada kita untuk membantu teman atau orang di sekitar kita yang menghadapi kehilangan.

Membantu orang lain

Jika seorang teman kehilangan anggota keluarga atau kerabat, kita dapat membantunya dengan cara-cara berikut:

1. Biarkan dia merumuskan sendiri pilihan-pilihannya. Jangan membuatnya kewalahan dengan saran-saran Anda atau mengancam rasa percaya dirinya.
2. Jangan menyangkal duka cita dan kehilangannya. Mencoba mengingatkan dia bahwa orang yang dia tangisi pernah menjalani kehidupan yang menyenangkan, atau meninggal tanpa penderitaan, tidak akan menolong menghilangkan perasaan cemas karena perpisahan yang dia rasakan, dan justru bisa membuatnya merasa bersalah karena memikirkan diri sendiri.
3. Jangan menjauh. walaupun dia mungkin menarik diri, sedih, atau bersikap angkuh, keberadaan Anda meskipun tanpa kata-kata memberikan rasa aman.
4. Tawarkan kegiatan sosial dan pekerjaan tanpa paksaan. Jangan mencoba menduga-duga apa yang pantas untuknya; setiap orang berusaha besosialisasi kembali dengan cara yang berbeda. Biarkan dia tahu bahwa dia diterima untuk bergabung dengan kehidupan ketimbang meniru kematian.

Membantu anak-anak

Anak-anak tentunya lebih rentan terhadap stres akibat kehilangan, apalagi jika ia kehilangan salah satu orang tua.
Bagi seorang anak, meninggalnya salah satu orang tua merupakan musibah yang paling sulit diatasi dan menciptakan luka yang tidak akan pernah sembuh sepenuhnya. Kabar baiknya, menurut studi pada anak-anak yang dilakukan oleh Universitas Harvard, ternyata hanya ada sedikit anak yang benar-benar mengalami gangguan psikologis serius pada tahun-tahun setelahnya. Kehilangan orang tua bisa mempengaruhi seorang anak dengan cara-cara berikut yang semuanya mudah dipahami;semuanya merupakan reaksi normal untuk situasi yang tidak normal:
- Mereka sedih dan merindukan orang tua yang meninggal tersebut. Kesedihan mereka akan tampak lewat gejala-gejala psikologis seperti: menangis, sulit tidur, dan sulit berkonsentrasi.
- Mereka akan mengungkapkan penderitaan emosi mereka melalui beberapa penyakit fisik, seperti: masuk angin, sakit kepala, dan sakit perut.
- Mereka mungkin merasa bersalah dan bertanya-tanya, apakah mereka penyebab meninggalnya orang tua mereka karena menjadi "anak nakal".
- Mereka mungkin marah karena ditinggalkan, dipaksa pindah, atau tiba-tiba memiliki lebih sedikit uang jika orang tua yang meninggal merupakan pencari nafkah utama.
- Mereka mungkin mencemaskan kondisi kesehatan orang tuanya yang masih hidup dan kebingungan jika orang tuanya terserang penyakit ringan seperti: masuk angin atau migrain.
- Mereka mungkin menolah ayah/ibu pengganti dan kakak/adik tiri baru yang datang bersamanya.
- Mereka mungkin terus menjalin hubungan dengan orang tuanya yang sudah tiada melalui mimpi, dengan melihat atau mendengar suaranya, merasa diawasi olehnya dan membayangkan seperti apa surga-tempat si orang tua yang meninggal itu sedang menunggunya.
- Mereka akan menimbang perilakunya dan memikirkan apakah itu akan menyenangkan orang tuanya yang sudah meninggal atau tidak.
- Mereka mungkin bergantung pada barang-barang yang ditinggalkan oleh orang tua yang sudah meninggal sebagai cara agar tetap terhubung.
Kira-kira setahun setelah orang tuanya meninggal, biasanya anak-anak sudah dapat mengatasi luka kehilangan sampai pada tingkat tertentu. Psikolog William Worden dari Universitas Harvard dan peneliti pekerja sosial Phyllis Silverman menemukan dalam hasil penelitiannya bahwa kebanyakan anak tidak terlalu sering menangis, tidur lebih baik, dan mampu berkonsentrasi kembali, tetapi sakit kepala, sakit perut dan gangguan fisik lain masih mengganggu seperti ketika orang tua baru meninggal.
Beberapa cara membantu anak menghadapi kehilangan orang tua antara lain:

1. Biarkan mereka membantu dalam proses pemakaman atau ritual berkabung lainnya. Ritual tersebut memberi sedikit tutupan (sebuah akhir, sebuah transisi yang penting).
2. Biarkan anak-anak membicarakan orang tua mereka yang telah tiada. Untuk sementara mereka perlu mempertahankan keberadaan orang tua yang sudah tiada ketika mereka menyerap kehilangan orang tua mereka. Anak-anak lebih mampu membicarakan orang yang sudah meninggal dan mereka cintai (sesuatu yang nyata dan dapat disentuh) ketimbang perasaan mereka (sesuatu yang abstrak).
3. Biarkan anak-anak mempertahankan rutinitas mereka sebanyak mungkin. Melanjutkan hidup seperti semula merupakan sikap yang menentramkan dan dapat membantu mereka membangun kembali dunia menjadi tempat yang aman.
4. Cari bantuan. Orang tua yang sedang berduka yang mencoba menangani kesedihannya sendiri dan kesedihan anak-anaknya tanpa ada pertolongan dari luar berarti menyiksa diri dan memberi hukuman yang berlebihan kepada diri sendiri. Ini saatnya meminta dukungan kakek, nenek, paman, bibi, dan kerabat lain untuk mendukung perawatan anak-anak Anda. Pastikan Anda juga menginginkan anak untuk bepaling kepada teman-teman, orang tua teman, dan guru-guru mereka untuk mencari ketentraman, atau tempat-tempat penyuluhan bagi mereka yang berkabung.

Membantu para pekerja bencana

Ketika bencana datang, orang-orang tersebut bekerja untuk menolong orang lain, orang-orang yang kehilangan. Mereka masuk ke tengah reruntuhan badai api, puing-puing tsunami, reruntuhan pesawat jatuh, atau daerah yang menjadi target pemboman atau serangan terorisme. Para penolong pun butuh ditolong. Para petugas penyelamat bencana kerap kali menderita depresi, gangguan tidur, mengalami kilas balik, masalah konsentrasi, dll. Terapkan beberapa prinsip yang dikembangkan oleh beberapa pakar untuk membantu para pekerja bencana mengelola stres mereka sendiri:
1. Telepon atau kunjungi mereka dan biarkan mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian!
2. Biarkan mereka bicara! Jangan menghambat, menghibur, menghentikan, atau menolak apapun yang mereka katakan. Mereka kemungkinan akan lebih tertekan jika mereka tidak dibiarkan berbicara.
3. Ulangi kata-kata mereka. Dengan cara ini mereka tahu bahwa Anda benar-benar menyimak dan beri mereka kesempatan untuk "mendengar" mereka bicara dan "mendengarkan" diri mereka sendiri sebagaimana mereka mendengarkan orang lain.
4. Tanyakan upaya apa yang sudah mereka lakukan untuk membuat perasaan mereka lebih baik atau lebih tenang. Mengambil alih kendali atau memberi saran-saran yang terlalu dini bisa meningkatkan rasa tidak berdaya atau frustrasi mereka. Awali dengan menanyakan rencana atau tindakan mereka sendiri dan bagaimana Anda bisa membantu mereka.
5. Rencanakan sejumlah tindakan lanjut. Luangkan waktu untuk menemui mereka lagi. Tenangkan mereka dengan mengatakan bahwa mereka bisa menelepon Anda setiap waktu
6. Dan teruslah berhubungan setelah upaya -upaya pemulihan bencana berakhir. Ini adalah saat ketika Anda paling dibutuhkan.

Semoga tips di atas berguna bagi kita untuk membantu orang-orang di sekitar kita.

Referensi:

Witkin, G. 2005. Agar Badai Cepat Berlalu: Mengatasi Trauma Akibat Bencana-Besar Maupun Kecil-Mulai Hari Pertama Hingga Setahun Setelah Bencana. Bandung: Penerbit Kaifa.

Gambar diambil dari: http://conantinstitute.org/picture/sue-scheff-depression-2.jpg

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Awas Bising!

Culture Shock: Shock Karena Bertemu Budaya yang Berbeda

Eksperimen-Eksperimen Klasik yang Menarik Perhatianku