Eksperimen-Eksperimen Klasik yang Menarik Perhatianku


Ketika saya menjelajahi website-website psikologi, saya menemukan sebuah tulisan menarik
Mungkin karena saya jarang membaca hasil penelitian eksperimen, beberapa eksperimen yang dipaparkan di tulisan tersebut belum pernah terdengar sebelumnya. Berikut ini adalah hasil penjelajahanku:

1. Bystander apathy (eksperimen Darley & Latane, 1968)
Terinspirasi dari pembunuhan Kitty Genovese yang dibunuh didekat apartemennya sendiri dan tidak mendapat pertolongan yang responsif dari para tetangga, Darley & Latane merancang sebuah eksperimen untuk menguji fenomena bystander effect. Dalam psikologi sosial, bystander effect merujuk pada terhambatnya perilaku menolong orang lain karena adanya kehadiran banyak orang lain di sekitarnya.

Partisipan eksperimen diundang ke laboratorium setelah sebelumnya diberi tahu bahwa mereka mengikuti sebuah diskusi tentang "masalah pribadi". Partisipan berbicara dengan sejumlah partisipan lain yang tidak diketahui, yang bervariasi antara satu sampai empat orang di tiap percobaan. Karena kasus yang sedang dibicarakan sangat sensitif, para partisipan diberi tahu bahwa mereka akan berdiskusi melalui ruangan dengan telepon yang saling berhubungan satu sama lain (intercom). Hal tersebut dilakukan agar para partisipan tidak melihat satu sama lain secara fisik. Saat diskusi berlangsung, salah satu partisipan akan mengalami gejala epilepsi yang kemudian meminta tolong.

Eksperimenter kemudian mengukur berapa lama waktu yang diperlukan partisipan untuk menolong orang tersebut. Mereka menemukan bahwa semakin banyak orang yang terlibat dalam diskusi kelompok, semakin lama mereka merespon terhadap keadaan gawat darurat. Kehadiaran orang lain tampaknya menghambat perilaku menolong. Walaupun demikian, dalam penyelidikan selanjutnya ditemukan bahwa partisipan yang tidak menolong, bukan berarti tidak peduli. Mereka berkeringat, gelisah, bingung karena terjebak antara perasaan bersalah akibat tidak menolong, dan perasaan malu karena identitasnya akan terbongkar atau tak ingin mengacaukan eksperimen dimana mereka telah diberi tahu untuk tidak membuka jati diri kepada orang lain.

2. Eksperimen Stanford Prison (Zimbardo, 1972)
Eksperimen Stanford Prison sebenarnya sudah pernah penulis dengar sebelumnya. Tetapi belum menemukan penjelasan mengenai eksperimen ini. Melalui eksperimen ini, kita dapat melihat pengaruh situasi terhadap perilaku seseorang. Subjek eksperimen adalah laki-laki biasa dan normal yang kemudian dibagi ke dalam dua kelompok: tahanan dan sipir penjara. Eksperimen dibuat "senatural" mungkin dengan cara memperlakukan subjek layaknya tahana dan sipir sungguhan. Kelompok tahanan ditangkap, diberi baju penjara, dibei nomor, dirantai, digunduli, dsb, kemudian ditempatkan di sebuah penjara buatan yang berlokasi di ruang bawah tanah Universitas Stanford. Kelompok sipir juga diberi seragam dan pentungan. Pada hari pertama semuanya berjalan lancar, namun pada hari kedua tahanan mulai berontak, dan para sipir mulai bertindak keras terhadap tahanan. Semakin lama, sipir dan tahanan semakin larut dengan peran mereka. Para sipir mulai memukul, dan menyiksa tahanan layaknya penjara sungguhan. Para eksperimenter juga ikut terlarut suasana sehingga melupakan kenyamanan psikologis para subjek. Akhirnya pada hari keenam (dari yang seharusnya 14 hari), eksperimen dihentikan karena dianggap telah menyimpang dari tujuan awal. Banyak yang menilai eksperimen ini tidak etis, kurang valid, dan sebagainya.

3. Eksperimen Sherif Robbers Cave (1961)
Eksperimen ini merupakan studi klasik tentang prasangka dan konflik. Sebanyak 22 anak laki-laki berusia 11 tahun mengikuti eksperimen ini, dan kemudian dibagi secara acak menjadi dua kelompok. Mereka dibawa ke perkemahan musim panas lalu ditempatkan di asrama yang berbeda dan selama 1 minggu awal saling tidak mengetahui satu sama lain. Masing-masing kelompok menghabiskan waltu untuk mengakrabkan diri dalam kelompoknya sambil berenang dan memanjat gunung. Kedua kelompok memilih sebuah nama kelompok dan disematkan pada baju dan bendera mereka. Kelompok yang satu adalah elang dan yang lain adalah ular.

Setelah kedua kelompok ditetapkan, eksperimen berlanjut ke fase kedua. Kedua kelompok akhirnya dipertemukan dan segera tampak konflik antar kelompok dalam bentuk kekerasan verbal. Eksperimenter lalu menempatkan mereka dalam kompetisi-kompetisi untuk meningkatkan konflik secara substansial. Konflik semakin memanas ketika salah satu kelompok, yaitu kelompok ular memenangkan kompetisi. Kelompok ular menancapkan bendera mereka di lapanga bola sebagai tanda kekuasaan. Kemudian setiap kelompok mulai saling mengejek kelompok lain dan menolak untuk makan di tempat yang sama.

Tahap terakhir adalah membuat perdamaian di antara keduanya. Mula-mula, mereka dilibatkan dalam aktivitas bersama, seperti menonton film, memainkan petasan, ttapi tidak berhasil. Eksperimenter kemudian membawa mereka ke sebuah lokasi baru dimana mereka diberikan serangkaian masalah untuk diselesaikan bersama. Mulai dari membetulkan saluran air yang rusak, sampai bekerja sama untuk membayar film yang ingin mereka tonton. Akhirnya mereka kembali makan di tempat yang sama. Kelompok kemudian diberikan masalah-masalah pada beberapa hari berikutnya. Kunci utamanya adalah mereka bekerja sama untuk mencapai sesuatu di mana mereka semua memiliki ketertarikan yang sama. Akhirnya semua anak memutuskan untuk pulang bersama dalam satu bis. Kedamaian telah bersemi.

Untuk melihat jalannya eksperimen selengkapnya, silakan kunjungi situsnya.

Sebenarnya pasti masih banyak lagi eksperimen-ekperimen klasik yang belum saya ketahui dengan baik. Beberapa di antaranya tak lagi sesuai dengan kode etik modern.
Walaupun demikian, senang rasanya bisa berbagi pengetahuan dengan kalian.

Referensi:

Dean, J. Why We do Dumb or Irrational Things: 10 Brilliant Social Psychology Studies (Online), (http://www.spring.org.uk/2007/11/10-piercing-insights-into-human-nature.php, diakses 17 November 2009).

Gambar diambil dari: http://www.all-about-psychology.com/images/psychology-experiments.jpg

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Awas Bising!

Culture Shock: Shock Karena Bertemu Budaya yang Berbeda